HAK ASASI KAUM PEREMPUAN
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
Penegasan mengenai judul
Judul “HAK ASASI KAUM PEREMPUAN” ini saya jadikan
sebagai judul karena menurut saya sebagai penulis hak hak asasi Perempuan di
Negara Indonesia ini kurang berjalan dengan baik dan sangat sekali buruk dan juga
Penegakkan HAM yang masih menjadi pro dan kontra
dalam masyarakat. Banyak kaum perempuan yang dirugian
dalam berbagai hal yang mengakibat kerugian fisik maupun non fisik. Maka dari
itu kita sebagai warga Negara Indonesia harus belajar memahami apa arti dari
hak asasi itu sendiri kemudian ingat dan kita resapi pada diri masing masing
dan jadikan sebagai pemahaman dalam kehidupan sehari hari. Maka dengan sendiri
hak asasi manusia diindonesia khusunya hak asasi perempuan akan terus membaik
sesuai yang kita harapkan.
1.2
Alasan Pemilihan Judul
Alasan saya memilih judul “HAK ASASI KAUM PEREMPUAN”
karena hak hak yang seharusnya ada untuk para kaum perempuan banyak di abaikan
oleh orang orang yang tidak bertanggung jawab. Dan banyak sekali perempuan
Indonesia yang belum merasakan kebahagian dan keadilan atas hak hak yang belum
ia dapatkan. Dan juga banyak kaum perempuan di Indonesia ini sangat memerlukan
perlindungan hukum yang baik dan tepat, untuk mereka menjalankan kehidupan
sehari hari dan juga agar mereka merasa aman, dan generasi generasi selanjutnya
bisa lebih baik lagi.
1.3
Tujuan research di selenggarakan
Agar kita semua sebagai warga Negara Indonesia
khusunya kaum perempuan lebih bisa memahami dengan baik dan bisa menjalankan
kehidupannya dengan aman tentang :
1. Hak Asasi Perempuan serta UU nomor
berapa yang berkaitan dengan Hak Asasi Perempuan.
2. Kasus seperti apa yang
termasuk pelanggaran Hak Asasi Perempuan ?
3. Mengapa Hak
Asasi Perempuan di Indonesia masih belum berjalan dengan baik ?
4. Apa arti dari hak asasi perempuan
itu sendiri ?
Maka saya buat karya
ilmiah ini dengan sebaik baiknya dan semoga kita semua dapat memahaminya dengan
baik.
1.4
Sistematika
Agar
memudahkan pemahaman terhadap penulisan karya ilmiah ini, makan saya sebagai
penulis menyusun secara sistematika dari bab pendahuluan sampai bab penutup.
Dengan rincian sebagai berikut.
BAB I : Pendahuluan.
Pada
bab 1 ini akan dijabarkan tentang penegasan mengenai judul yang diambil. Agar
pembaca dapat lebih memahami dan terdapat didalamnya mengenai penjelasan
istilah istilah dalam penulisan karya ilmiah, alas an pemilihan judul yaitu
landasan mengenai landasan untuk penulisan karya ilmiah ini, tujuan penulisan
karya ilmiah ini adalah untuk memberikan irfomasi kepada pembaca khususnya Perempuan
– perempuan di Indonesia tentang apa yang akan dibahas penulis dan terdapat
sistematika penulisan.
BAB II : Analisis dan Landasan
Teori.
Pada
bab ini penulis akan memberikan infromasi dari hasil penelitian , penampilan,
anggapan, pernyataan hipotesis, dan hal hal yang diharapkan dari penulisan
karya ilmiah ini.
BAB III : Analisis dan Penetapan metode yang
digunakan.
Pada
bab ini penulis akan memberikan sample prosedur, metode, dan prosedur
pengolahan data yang dipakai pada penulisan karya ilmiah ini, serta metode dan
prosedur penganalisaan data.
BAB IV : Pengumpulan dan Penyajian Data.
Merupakan uraisan secara singkat dan penyajian data dari
hasil analisa yang berupa table, diagram atau grafik.
BAB V : Analisa Data.
Pada bab ini menerangkan metode yang dipakaiseperti
metode analisis statistic, analisis kualitatif, analisis kuantitatif dan
analisis komparatif, di bab ini jugaterdapat kesimpulan dari berbagai analisis
yang analisis sebutkan.
BAB VI : Kesimpulan dan Saran.
Merupakan penutup
dari penelitian yang berisis kesimpulan dan saran saran terhadap judul yang
penulis bahas.
BAB
II
ANALISA
LANDASAN
2.1 Analisa Hasil-hasil.
Sudah menjadi anggapan yg biasa, banyak
yang mengatakan bahwa bila seorang perempuan dinegara Indonesia ini tidak
menyelesaikan sekolahnya atau melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi seperti
kuliah pasti akan cepat menikah dan hanya bekerja didalam dapur dan mengurusi
rumah tanggganya saja. Tidak mengetahui banyak dunia luar dan pengetahuannya
hanya itu itu saja. Jangan heran kalau perempuan Indonesia dikenal rendah bagi
sebagian masyarakat Indonesia. Karena hak asasi perempuan di Indonesia
sangatlah kurang diperhatikan oleh kita semua sebagai warga Negara Indonesia
dan generasi muda kita.
Yang hanya kita ketahui hanyalah laki laki diluar rumah bekerja
mencari nafkah sebagai sector public dalam bekerja memenuhi kebutuhan rumah tangganya
dan perempuan hanya berdiam dirumah mengurusi semua kebutuhan suami dan anak,
hal ini mengakibatkan sumber daya ekonomi, social, dan politik terbatas. Selain
menjadi korban KDRT atau perdagangan wanita dan juga pelecehan seksual,
perempuan Indonesia sangat riskan mengalami tindak penganiayaan dan kekerasan.
Penganiayaan dan kekerasaan terhadap perempuan sudah
berlangsung sangat lama dan bukan merupakan hal baru lagi kita dengar.
Kekerasaan terhadap kaum perempaun bukan hanya tindakan kriminal atau kejahatan,
tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia khususnya Hak
Asasi Perempaun (Women’s Human Rights).
Pelanggaran hukum terhadap Hak Asasi Manusia bagi
Perempuan di Indonesia sudah banyak terjadi sampai hari ini. Kekerasaan
terhadap Perempuan, pembagian gaji dalam bekerja yang berbeda, pelanggaran
Hak-hak kerja seperti hak cuti, atau hamil, kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT), penjualan atau perdangan wanita dibawah umur, pelecehan seksual, adalah
sebagian contoh bahwa betapa buruknya Hak asasi manusia bagi perempuan Di
Indonesia yang belum dilaksanakan sebagai mana mestinya. Padahal kita semua tau
Pemerintah sudah meresmikan dan meratifikasi beberapa konvensi internasional
yang mengatur masalah Hak Asasi Manusia bagi Perempuan di Indonesia, seperti Dengan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1984 (UU
No.7/1984), Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita (Convention on the Elimination
of All Forms of Discrimination Against Women) (CEDAW) disahkan,
dan Konvensi Hak politik perempuan.
Tetapi kita semua ketahui walaupun Pemerintah sudah
mengesahkan uu tentang segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, dalam
kenyataannya, penghormatan terhadap Hak Asasi Perempuan belum dapat ditegakan
dan dijalankan di Indonesia, dan semua ini sangat menunda hak hak yang
seharusnya kaum Perempuan dapatkan dari Hukum di Indonesia.
2.2
Penampilan Anggapan.
Pemberatasan dan Penghapusan tindak kekerasan terhadap
perempuan (The declaration on the elimination of violence against women) yang
ditandatangani pada bulan December 1993, dalam pembukaanya mengatakan :
“violence against women is a manifestation of
historically unegual power relations between men and women which have led to
domination over and discrimination against women by men.”
Yang
artinya adalah “ kekerasan melawan perempuan adalah satu penjelmaan dari
sejarah power berbeda hubungan diantara para lelaki dan perempuan yang mana
telah memimpin dominasi berlalu dan diskriminasi melawan perempuan oleh
orang-orang”.
Deklarasi
ini menerima kenyataan bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan adalah suatu
bentuk manifestasi dari sejarah dan telah terkontruksi secara social. Tetapi,
tindak kekerasan ini dipandang telah melanggar norma norma yang berlaku secara
universal terhadap penghormatan Hak Asasi Manusia.
UUD dinegara kita yang juga merumuskan pada tahun 1945
sejak semula telah mencantumkan dalam pasal 27 (1), bahwa semua orang mempunyai
kedudukan yang sama di muka hukum. Jadi sejak tahun 1945 dinegara kita prinsip kesetaraan laki-laki
dan perempuan di depan hukum telah diakui. UU perkawinan (UU No. 1 tahun 1874,
Pasal 31 ayat (1) memuat kalimat kalimat yang mengatakan, bahwa hak dan
kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
rumah tangga dan pergaulan hidup bersama di masyarakat . kemudian ada lagi
pasal dalam uu perkawinan itu yang mengumukakan, bahwa harta benda yang
duperoleh dselama perkawinan menjadi harta bersama ( Pasal 35 ayat (1)), dan
mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua
belah pihak (Pasal 36 ayat (1))
HAM menurut UU No. 39 Tahun
1999 telah mendefinisikan seperangkat hak yang sudah melekat pada manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, dan hak asasi manusia merupakan hak dasar
milik manusia, yang sudah ada dalam keadaan rahim di kandungan, dan juga tidak
dapat dipisahkan dari manusia itu sendiri.
HAM juga dapat mengatur perlindungan
terhadap perempuan. Begitu halnya juga dengan hak perempuan, salah satu dari
hak asasi perempuan adalah jaminan untuk mendapatkan perlindungan yang sesuai
dengan nilai nilai agama dan kemanusian dimanapun mereka berada termasuk di
dunia kerja. Hak asasi tersebut sesuai dengan nilai nilai pacasila dan tujuan
Negara sebagaimana tercantum, dalam Konvensi tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) dimana Negara wajib membuat
peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan
dilapangan pekerjaan guna menjamin hak-hak yang sama atas dasar persamaan
antara laki-laki dan perempuan.
2.3
Pernyataan Hipotesis.
Walaupun kita sudah mengetahui jelas
jelas telah digariskan bahwa hukum yang ada harus menjamin supaya Perempuan di
Indonesia mendapat perlakuan yang setara dengan laki-laki. Faktanya banyak
sekali bukti yang menunjukan diskriminasi terhadap perempuan terus berlanjut,
banyak merugikan kaum perempuan, yang dapat kita ketahui dan amati, yang ada
melalui media massa. Lalu berbagai rumusan undang-undang menunjukkan bahwa
perlakuan diskriminasi terhadap perempuan masing berlangsung terus sampai saat
ini. Dan harus kita ketahui bahwa fungsi undang-undang dan peraturan peraturan
dalam mewujudkan keadilan agar tidak terdapat ketentuan hokum yang non
diskriminasi, kenyataan yang ada menunjukan masih jau dari yang kita semua
harapkan. Kita semua mengetahui bersama bahwa sudah cukup banyak perempuan yang
berpendidikan yang mampu bertanggungjawab sebagai penetu kebijakan nasional.
Tetapi ternyata dalam persentase perempuan yang mendapat kesempatan tanggung
jawab masih sangat kecil. Hal ini. Merupakan masalah besar yang membutuhkan
penanganan lebih lanjut untuk dibenahi oleh pemerintah.
2.4
Hal yang di Harapkan.
Dalam hal ini Pemerintah memiliki
peran penting, seperti menggagas sebuah gerakan solidaritas bagi perempuan
korban kekerasan. Seperti program “pundi perempuan” sejak tahun 2003. Berbagai
upaya penggalangan solidaritas baik dalam bentuk dana, relawan, dan jaringan
terus dilakukan.
Hal ini sebagai langkah
menangani korban-korban tindak kekerasan atau lainnya, untuk penanganan
fasilitas yang dibutuhkan, sumber daya manusia, anggaran dan perangkat pendukung lainnya. Karena kita
ketahui semuanya setiap tahun angka diskriminasi terhadap perempuan di
Indonesia terus meningkat. Peluncuran
kampanye “pundi perempuan” yang melibatkan berbagai dunia usaha adalah wujud
nyata solidaritas bagi perempuan korban diskriminasi. Kerja sama semacam ini
dimungkinkan Karena semua pihak yang terlibat memiliki kepedulian yang sama
untuk mewujudkan kehidupan yang lebih sejahtera, adil, bermartabat dan bebas
dari kekerasan.
Penghapusan
bentuk diskriminasi yang dilakukan memerlukan dukungan serta komitmen yang kuat
dari berbagai pihak termasuk Pemerintah, pagar pelaksanaan penghapusan
diskriminasi dapat diwujudkan secara bertahap. Untuk mengefektifkan pelaksanaan
dari penghapusan tindakan penghapusan diskriminasi maka diperlukan tindakan
berupa sanksi-sanksi bagi instansi pelaksana yang dianggap tidak menjalankan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.
Hal
tersebut sangatlah penting, karena peraturan perundang-undangan yang baik adalah
peraturan perundang-undangan yang dapat diimplementasikan serta dijalankan
dengan kemauan dan komitmen dari berbagai pihak sesuai dengan fungsi dan
tugasnya masing-masing. Atau dengan perkataan lain sebagus apapun peraturan
perundang-undangan yang dibuat, namun kalau tidak dapat dilaksanakan maka akan
menjadi sia-sia dan tidak berarti.
BAB III
ANALISIS DAN PENETAPAN METODE YANG DIGUNAKAN
3.1 Sample; Prosedur
Sampeling.
Tanggal 8 mei, yang
merupakan hari gugurnya pejuang buruh perempuan, marsinah diusulkan sebagai
hari perjuangan buruh Perempuan Indonesia. Hal tersebut dimaksud untuk
menegaskan adanya kejuangan perempuan.
“Karena buruh perempuan
tak sekedar hadir, tak sekedar buruh perempuan adalah buruh yang keringatnya
dihisap kapitalis, dan adalah pejuang dalam perjuangan buruh di Indonesia,”
kata ketua Partai Rakyat (PRP), Anwar Ma’ruf, di Jkarta, Rabu (8/5/2013).
Dalam siaran Persnya, PRP
juga mendesak agar Marsinah dijadikan pahlawan buruh Indonesia karena
keberaniannya memjuangkan hak hak buruh perempuan pada masa Orde Baru.
Marsinah juga memperoleh
penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun 1993 karena keberaniannya memperjuangkan hak buruh, tidak hanya itu iya
juga memperjuangkan untuk memnuntut cuti haid, cuti hamil, dan lainnya. Ia
memimpin para buruh perempuan ditempatnya bekerja, PT Catur Putra Surya (cps) Porong,
Sidoarjo, Jawa Timur. Untuk menuntut upah pokok dari Rp.1700 per hari menjadi
Rp. 2.250.
Pada tanggal 13 November
2012 Harian Umum Kompas menurunkan berita dengan judul, “Kasus TKI Langgar Hak
Asasi”. Tiga polisi di pulau Penang, Malaysia memerkosa SM (25), Tki asal
Batang, Jawa tengah, setelah menahan SM karena tidak memiliki dokumen. Oleh
Pemerintah Indonesia, pemerkosaan ini justru direduksi menjadi tindak pidana
biasa.
Migrant care wahyu susilo,
ketua komisi nasional perempuan Yuniyanti Chuzaifah, dan Wakil Ketua Komisi IX
DPR Irgan Chairul Mahfiz serta anggota Komisi I DPR Efendi Choirie menggugat
sikap pemerintah indonesiia tersebut. Dasar argumentasi keempat Tokoh ini
adalah tindakan para pelaku telah melanggar hak asasi. Pemerintah didesak untuk
meninggalkan preduksian tersebut, selanjutnya sebagai langkah hokum pemerintah
mesti menjadikan UU Nomor 6 tahun 2012 tentang Ratifikasi Pengesahan Konvensi
Intenasional Mengenai Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota
Keluarganya sebagai modal perjuangan hak TKI.
Tindakan yang diambil pemerintah dalam kasus ini sebenarnya merupakan
cermin dari sikap masyarakat kita yang kerap kali melihat diskriminasi terhadap
perempuan sebagai hal yang biasa. Walau tidak se-ekstrem kasus pemerkosaan,
namun dalam masyarakat kita terdapat semacam klaim bahwa perempuan mesti berada
di posisi kedua setelah laki-laki.
3.2 Metode dan Prosedur
Pengolahan Data.
Indonesia telah
meratifikasi konvensi penghapusan bentuk diskriminasi terhadap Perempuan
(CEDAW) dengan UU No.7 Tahun 1984. Pada 11 Juli 2012, Kometi CEDAW akan mereviw
kemajuan implementasi Cedaw di Indonesia. Salah satunya bahan review yang
digunakan oleh komite Cedaw adalah laporan pemerintah Indonesia, Laporan Komnas
Perempuan, dan Laporan-laporan dari kelompok masyarakat sipil. Laporan yang
disusun komnas Perempuan berangkat dari hasil pemantauan komnas Perempuan dan
juga sejumlah konsultasi dengan berbagai pihak pemangku kepentingan, terutama
komunitas korban, lembaga advokasi hak perempuan, lembaga advokasi hak asasi
manusia pada umunya, organisasi masyarakat sipil lainnya. Dalam kurun waktu
2007 hingga agustus 2012 diwarnai dengan kemajuan maupun stagnasi dan kemunduran
dalam hal upaya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dan kekerasan
berbasis gender terhadap perempuan.
Beberapa capaian
pemerintah Indonesia antara lain menghasilkan setidaknya ada 61 kebijakan baru
yang mendukung upaya pemenuhan hak asasi perempuan, baik ditingkat daerah,
nasional dan regional. Kebijakan-kebijakan tersebut secara langsung maupun
tidak langsung mengukuhkan jaminan untuk bebas dari diskriminasi berbasis
gender, antara lain terkait diskriminasi berbasis ras dan etnik, upaya harmonisasi
kebijakan, standar pelayanan minimal bagi perempuan korban kekerasan,
pencegahan dan penanganan perdagangan orang, layanan kesehatan dan pendidikan.
Perkembangan lainnya,
komnas perempuan mencatat lebih 4 ratus lembaga yang didirikan pemerintah untuk penanganan kasus kekerasan
terhadap perempuan ditingkat nasional, provinsi dan kabupaten kota. Sebagian
besar adalah unit pelayanan bagi perempuan dan anak dikepolisian (UPPA, 305
unit), disusul dengan pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak
yang dikoordinasi ole kementrian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
(P2TP2A, 113 Unit), dan pusat krisis dirumah sakit (PKT dan PPT, 63 unit). Juga
ada 42 women centre (WWC) yang dibangun dan dikelola masyarakat, khususnya
kelompok p[erempuan, dan tersebar lebih dari 20 Provinsi. Sebagian besar dari
kasus yang ditangani lembaga lembaga tersebut adalah kasus kekerasan dalam
rumah tangga dan kasus perdagangan orang.
Disamping kemajuan
tersebut, masih banyak yang kurang diperbaiki diantaranya sebagai berikut:
1.
Perbaikan kerangka Hukum. Sampai saat ini,
revisi hokum pidana Indonesia masih tertatih tatih dana sebgai akibatnta
pengalam perempuan akan kekerasa seksual, khususnya perkosaanm, penyiksaan
seksualm eskploitasi seksual, dan pelecehan seksual. Belum diakui secara
menyeluruh maupun mendapatkan penanganan yang sebagaimana dibutuhkan oleh
korban.; sejumlah agenda ratifikasi juga diundur pelaksanaannya, termasuk
ratifikasi statute Roma, Optional Protokol CAT, dan Optional Protokol CEDAW.
2.
Perlindungan bagi perempuan pembela HAM.
Perempuan pembela HAM menghadapi itimidasi dan sigmatuisasi. Yang sejumlah
diantaranya memilikidimensi berbasis gender. Serta penganiayaan, penyiksaan dan
kriminalisasi akibat aktivismenya.
3.
Perlindungan bagi perempuan pekerja migrant.
Indonesia masih belum membuat kemajuan yang signifikan dalam memperbaiki system
perlindungan substantive bagi pekerja migran.
4.
Perlindungan bagi pekerja rumah tangga di dalam
negri. Jaminan kerja layak masih jadi masalah serius. Jam kerja yang panjang
dengan gaji rata rata jauh dibawah standar upah minimum.
5.
Hak atas kesehatan.
6.
Kebijakan diskriminatif atas nama agama. Lewat
pengaturan tentang berbusana, tentang protitusi dan pornografi yang justru
mengkriminalisasi perempuan.
7. Intoleransi
terhadap kelompok minoritas agama. Perempuan dari kelompok ini menghadapi
kerentanan pada kekerasan dan dampak dari situasi, seperti yang dialami oleh
perempuan jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin, Gereja Kristen Batak
Protestan (HKBP) Ciketing-Bekasi, HKBP Filadelfia, Komunitas Syiah dan
Ahmadiyah. Situasi ini semakin diperparah dengan respon kepolisian terhadap
masalah ini yang tidak memberikan perlindungan kepada kelompok minoritas agama
yang menjadi korban.
8. Perkawinan
dan Hubungan Keluarga. Sampai saat ini, perubahan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan untuk mencegah perkawinan perempuan anak, praktik poligami dan
pengukuhan stereotipi peran gender perempuan dalam keluarga masih dalam proses
pembahasan. Pemahaman yang terbatas pengambil kebijakan mengenai tanggungjawab
negara, langkah atas diberlakukannya kebijakan afirmasi, dan keadilan gender
adalah hambatan utama dalam memajukan perubahan UU perkawinan.
Dengan
menunjukan bukti bukti diatas, membuktikan bahwa konvensi tentang penghapusan
segala bentuk diskriminasi perempuan belum lah terlaksana dengan baik.
3.3
Metode dan Prosedur Penganilisan Data.
Hak
Asasi Perempuan merupakan bagian dari Hak asasi manusia. penegakan hak asasi
perempuan merupakan bagian dari penegakkan hak asasi manusia. Sesuai dengan
komitmen internasional dalam Deklarasi PBB 1993, maka perlindungan, pemenuhan
dan penghormatan hak asasi perempuan adalah tanggung jawab semua pihak baik
lembaga-lembaga Negara ( eksekutif, legislatif, yudikatif ) maupun Partai
politik dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Bahkan warga Negara secara
perorangan punya tanggung jawab untuk melindungi dan memenuhi hak asasi
perempuan .
Dari berbagai kajian tentang
perempuan, terlihat bahwa kaum perempuan sudah lama mengalami diskriminasi dan
kekerasan dalam segala bidang kehidupan .Berbagai bentuk diskriminasi dan
kekerasan terhadap perempuan telah memperburuk kondisi kehidupan perempuan dan
menghambat kemajuan perempuan. Bermacam usaha telah lama diperjuangkan untuk
melindungi hak asasi perempuan dan kebebasan bagi perempuan, namun sampai
dewasa ini hasilnya belum signifikan.
Kekerasan
terhadap perempuan diantaranya meliputi:
a.
Kekerasan fisik, seksual
dan psikologis yang terjadi didalam keluarga. Termasuk kekerasan didalamnya
pemukulan, penyalah gunaan seksual terhadap anak anak perempuan dalam rumah
tangga, kekerasan yang bertalian dengan mas kawin yang tidak dibayarkan,
perkosaan yang terjadi dalam ikatan perkawinan, perusakan terhadap alat kelamin
(mutilasi) perempuan, dan praktel-parktek tradisional lain yang merugikan kaum
perempuan, kekerasan yang terjadi diluar hubungan suami istri dan kekerasan
lain yang berhubungan dengan eksploitasi.
b.
Kekerasan fisik, seksual
dan psikologis yang terjadi di dalam masyarakat umum, termasuk perkosaan,
penyalahgunaan seks, pelecehan dan ancaman ancaman ditempat kerja, disekolah
sekolah dan dimana saja serta perdaganangan perempuan maupun pemaksaan
pelacuran.
c.
Kekerasan fisik, seksual
dan psikologis yang dilakukan atau dibiarkan saja oleh Negara dimanapun
terjadinya.
d.
Sterilisasi dan
pengangguran kandungan yang dipaksakan, penggunaan ala alat kontrasepsi secara
paksa, pembunuhan bayi bayi perempuan dan pemilihan jenis kelamin bayi pra
kelahiran.
BAB IV
PENGUMPULAN DAN PENYAJIAN DATA
4.1
Uraian secara singkat.
Hak-hak asasi perempuan diindonesia kurang sekali
diperhatikan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Pembagian peran secara seksual
yaitu menempatkan perempuan dirumah (sector domestic/privat) dan laki-laki
diluar rumah (sector domestic/privat) dan laki laki diluar rumah (sector
public) menyebabkan terbatasnya akses perempuan terhadap sumber daya ekonomi,
social, politik. Perempuan juga sangat riskan menjadi korban tindak kekerasan.
Kekerasan terhadap perempuan sudah lama kita ketahui. Kekerasan terhadap kaum
perempuan bukan hanya masalah tindak kriminal tetapi juga pelanggaran HAM.
Terutama hak asasi perempuan (women’s human right)
Dari berbagai kajian tentang perempuan, terlihat bahwa
kaum perempuan sudah lama mengalami diskriminasi dan kekerasan dalam segala
bidang kehidupan. Berbagai masalah perlindungan hak asasi perempuan sudah
sangat dipahami. Menyadari pentingnya mengangkat isu hak perempuan sebagi salah
satu hak asasi manusia yang harus dapat diakui dan dijamin perlindungannya.
Adanhya kesadaran ini maka kemudian perlu diketahui terlebih dahulu dengan apa
yang dimaksud dengan hak asasi perempuan.
Hak asasi perempuan adalah hak yang dimiliki oleh
seorang perempuan, baik karena ia seorang manusia maupun sebagai seorang
perempuan, dalam khasanah hokum hak asasi manusia dapat ditemui pengaturannya
dalam berbagai system hokum hak asasi tentang hak asasi manusia. Dalam
pengertian tersebut dijelaskan bahwa pengaturan mengenai penakuan atas hak
seorang perempuan terdapat dalam berbagai system hokum tentang HAM. System
hokum yang dimaksud adalah system hokum hak asasi manusia baik yang terdapat
dalam ranah internasional maupun nasional. Khusunya mengnai hak – hak perempuan
yang terdapat dalam system hokum tentang hak asasi manusia.
Indonesia
telah meratifikasi konvensi penghapusan bentuk diskriminasi terhadap Perempuan
(CEDAW) dengan UU No.7 Tahun 1984. Dengan rperempuan) harus dihapus. ratifikasi
konvensi wanita tersebut, maka segala bentuk diskriminasi yang didasarkan pada
perbedaan jenis kelamin (laki-laki perempuan) misalnya, perlakuan pemberian
upah buruh perempuan dibawah upah bruh pria harus dihapus, begitu pula dunia
politik bukanlah milik pria maka perempuan harus diberi kesempatan yang sama
menduduki posisi dalam partai politik maupun pemerintahan. Kita harus menyadari bahwa pembangunan suatu Negara,
kesejahteraan dunia, dan usaha perdamaian menghendaki partisipasi maksimal kaum
perempuan atas dasar persamaan dengan kaum pria. Kita tidak dapat menyngkal
besarnya sumbangan perempuan terhadap kesejahteraan keluarga dan membesarkan
anak. Hal ini menunjukan keharusan adanya pembagian tanggung jawab antara pria
dan wanita dan masyarakat sebagai keseluruhan, bukan dijadikan dasar
diskriminasi.
Peraturan
perundang-undangan yang baik adalah peraturan perundang-undangan yang dapat
diimplementasikan serta dijalankan dengan kemauan dan komitmen dari berbagai
pihak sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing. Atau dengan perkataan
lain sebagus apapun peraturan perundang-undangan yang dibuat, namun kalau tidak
dapat dilaksanakan maka akan menjadi sia-sia dan tidak berarti.
4.2
Penyajian Tabel.
Berikut
ini adalah tabel catatan tahunan dari berbagai sumber yang saya dapat :
Tahun 2008
|
Di ranah personal :
·
46.884 kasus
kekerasan terhadap istri.
·
970 kasus
kekerasan dari relasi personal.
·
112 kekerasan
dalam berpacaran.
·
623 kekerasan
terhadap anak perempuan.
|
Di Ranah Publik :
·
623 kekerasan
terhadap anak perempuan.
·
89 pekerja
rumah tangga.
·
49 kekerasan
mantan suami.
|
|
Tahun 2009
|
Di Ranah Personal :
·
136.849 kasus
kekerasan terhadap Istri.
|
Di Ranah Public :
·
6.683 kekerasan
seksual, eksploitasi seksual anak, kekerasan ditempat kerja, dll
|
|
Di Ranah Negara :
·
54 kasus
kekerasan yang dilakukan oleh Negara.
|
|
Tahun 2010
|
Di Ranah personal :
·
1.299 Kasus
dalam pacaran
·
600 kasus
kekerasan terhadap anak Perempuan.
·
98.577 kasus
kekerasan terhadap istri.
|
Di Ranah public :
·
1.751 kekerasan
seksual
|
|
Di Ranah Negara :
·
395 kasus
khususnya korban penggusuran di Jakarta
|
|
Tahun
2011
|
Di Ranah Personal :
·
110.468 Kasus
Kekerasan terhadap Istri.
·
1.405 Kasus
Kekerasan dalam Pacaran.
|
Di Ranah Publik :
·
5.187 Kasus
Seksual.
|
|
Di Ranah Negara :
·
42 Kasus
|
|
Tahun
2012
|
Ranah personal :
·
216.156 kasus
yang dilaporkan oleh lembaga lembaga yang menangani kasus perempuan.
|
Tahun 2013
|
Di Ranah personal :
·
203.507 kasus
dengan (akta cerai) bersumber dari pengadilan agama
|
Di Ranah Publik dll :
·
12.697 kasus
dari lembaga lembaga mitra pelayanan perempuan.
|
Penjelasan
:
a. Ranah personal Artinya pelaku adalah orang yang
memiliki hubungan darah (ayah, adik, kakak, paman, kakek), kekrabatan,
perkawinan (suami), ataupun relasi intim (pacaran) dengan Korban.
b. Ranah Publik jika pelaku dan korban tidak memiliki
hubungan kekerabatan darah atau perkawinan, Bisa jadi pelakunya adalah majikan,
tetangga, guru, teman sekerja, atau tokoh masyarakat ataupun orang yang tidak
dikenal.
c. Ranah Negara artinya adalah pelaku kekerasan adalah
aparatur Negara dalam kapisata tugas. termasuk kedalam kasus di ranah Negara
adalah ketika pada peristiwa kekerasan, aparat Negara berada dilokasi kejadian
namun tidak berupaya untuk menghentikan atau jsutru membiarkan tindak kekerasan
tersebut berlanjut.
BAB V
ANALISIS DATA
5.1
Analisis Kuantitatif.
Indonesia telah meratifikasi
konvensi penghapusan bentuk diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dengan UU
No.7 Tahun 1984. Pada 11 Juli 2012, Kometi CEDAW akan mereviw kemajuan
implementasi Cedaw di Indonesia. Dengan sebelum pemerintah terlebih dahulu
telah mendatangani Konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan tanggal 29 Juli 1980 yaitu ketika diadakan konferensi sedunia tentang
Perempuan di Coppenhagen, Denmark.
Jauh sebelumnya Indonesia juga telah meratifikasi
beberapa Piagam dan Konvensi Internasional yang berkaitan dengan persamaan hak
perempuan dan laki laki. Piagam dan konmvensi itu antara lain adalah Piagam
PBB, konvensi yang berkaitan dengan pekerjaan perempuan didalam usaha tanah dan
pertambangan, Konvensi yang berkaitan dengan pembayaran kepada pekerja
laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya (Konvensi ILO No.
100), Konvensi Hak-hak Politik Perempuan (UU No. 18/1956).
Konvensi terhadap diskriminasi dalam pendidikan,
pekerjaan, atau sebagainya. Beberapa prinsip dalam konvensi konvensi tersebut
secara eksplisit telah tertuang pula dalam peraturan perundangan kita.
Bahwa diskriminasi terhadap perempuan adalah azas
persamaan dan rasa hormat terhadap martabat manusia, merupakan halangan bagi
partisipasi perempuan, atas dasar persamaan dengan kaum laki laki, hal ini
menghambat perkembangan kemakmuran masyarakat dan menambah sukarnya
perkembangan sepenuhnya dari potensi kaum perempuan dalam pengabdiannya
terhadap Negara-negara mereka dan terhadap orang lain.
Tindakan dan tanggung jawab perempuan terhadap
keluarganya dan pembangunan masyarakat yang selama ini belum sepenuhnya diakui,
artinya sosiial dari kehamilan dan peranan kedua orang tua dalam keluarga dalam
membesarkan anak anak, dan menyadari bahwa peranan perempuan dalam memperoleh
keturunan hendaknya jangan menjadi dasar diskriminasi, akan tetapi bahwa
membesarkan anak-anak menghendakan pembagian tanggung jawab antara laki-laki
dan perempuan.
Namun jika kita kaji lebih jauh tampak bahwa
pelaksanaan Konvensi ini menghadapi kendala struktual. Kendala cultural
menyangkut sikap masyarakat yang masih enggan untuk mengakui persamaan
laki-laki dengan perempuan. Sikap ini seringkali dikuatkan oleh berbagai ajaran
agama, adat. Dan budaya yang masih dianut sampai saat ini. Tragisnya sikap ini
kemudiian diadopsi menjadi sikap resmi Negara sebagaimana diatus dalam penjelasan
UU Nomor 7 tahun 1984 yang berbunyi :
“Dalam pelaksanaannya. Ketentuan dalam Konvensi
ini wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi
nilai-nilai budaya, adat istiadat serta norma norma keagamaan yang masih
berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia”
Dari bunyi penjelasan tersebut jelaslah bahwa ada
ketidak-konsistenan dalam usaha menerapkan konvensi ini (antara lain
menghilangkan hambatan adat, tradisi, budaya dan ajaran agama yang
mendiskriminasikan perempuan, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 2,3,4,5
konvensi), namun di pihak lain pelaksanaan konvensi ini justru harus disesuaikan
dengan adat, kebiasaan, tradisi, dan ajaran agama. Akibatnya, ditingkat
peraturan pelaksanaa, yang terjadi justru penguatan asumsi-asumsi gender dan
nilai-nilai yang stereotype tersebut.
5.5
Kesimpulan Analisis.
Kendala
struktural berkaitan dengan berbagai kebijakan baik yang umum maupun yang
khusus yang ditujukan kepada kaum perempuan yang secara prinsipil juga bertentangan dengan prinsip-prinsip yang
ada dalam Konvensi ini. Jika kita simak isi pasal 1 Konvensi Perempuan
ini, dapat disimpulkan bahwa pemenuhan dan penghargaan terhadap Hak Azasi
Manusia adalah prasyarat mutlak untuk dapat terlaksananya Konvensi ini. Namun
tampaknya ada keengganan dan inkonsistensidari
pemerintah yang disatu pihak menendatangani dan meratifikasi Konvensi Perempuan,
tapi di lain pihak enggan atau menolak mengakui/meratifikasiKonvensi HAM
lainnya, seperti Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya. Penolakan untuk mengakui HAM jelas merupakan kendala dalam upaya
untuk menghapuskandiskriminasi terhadap perempuan, sehingga pelaksanaan
Konvensi Perempuan ini menjadi sangat problematis.Perjuangan kaum perempuan untuk memperoleh dan
menikmati hak azasinya masih jauh dari yang diharapkan. Ratifikasi berbagai
konvensi tidak menjadi jaminan
bahwa hak-hak tersebut akan terpenuhi. Masih harus dilakukan semacamagenda
kerja dan aksi untuk merealisasikan yang sudah disepakati dalam
berbagaikonvensi tersebut. Ini bukan hanya tugas kaum perempuan saja, tetapi
juga kaumlaki-laki. Karena pada akhirnya segala usaha utuk pemenuhan Hak Azasi
Manusiaumumnya dan Hak Azasi Perempuan
khususnya bertujuan untuk mewujudkankesejahteraan dan kebahagiaan
seluruh umat manusia baik laki-laki ataupun perempuan
tanpa kecuali.
LATAR
BELAKANG
Perlu
kita ketahui bahwa HAK merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap
manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak
kebebasan yang terkait dengan interaksi dengan lingkungan sekitar. Pemenuhan
hak asasi Perempuan merupakan suatu keharusan agar setiap Perempuan di Negara
ini dapat hidup sesuai dengan kemanusiaannya dan Hak haknya sebagai seorang
istri, seorang ibu, dan seorang anak.
Dewasa
ini kasus Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kekerasan perempuan
lainnya masih banyak terjadi di Negara ini bahkan masih banyak yang belum
menerima Keadilan sesuai dengan UU yg ada. Banyak Perempuan yang merasa bahwa
hak mereka sebagai seorang perempuan yang menerima kekerasan diIndonesia belum terpenuhi.
Hak yang katanya sangat dilindungi dan dihormati di injak-injak begitu saja
oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab atau yang memegang kekuasaan.
Pelanggaran
ini sering terjadi pada semua kehidupan berkeluarga, karena setiap keluarga
memiliki cara menyelesaikan setiap masalah dengan caranya masing – masing, hal
ini yang perlu kita pahami. Penyelesaikan
masalah yg dilakukan dengan emosi yg sangat berlebihan sampai dengan
kekerasan fisik sebagai pelampiasan kemarahannya, sampai teriakan dan makian
pun muncul. Atau perilaku menyerang, mengancam, memukul yang mengakibatkan
kesengsaraan atau penderitasn secara fisik, seksual, psikologis, dan atau/
pelantaraan rumah tangga
sebut saja salah satu contoh kekerasan
terhadap seorang istri atau anak perempuan dibawah umur yang di perjual belikan
oleh orang orang yang tak bertanggung jawab. Hal ini bukanlah satu hal yang
asing dikalangan rakyat Indonesia. Jangan sampai kita merugikan atau melecehkan kaum Perempuan
untuk keuntungan kita sendiri.
Oleh
karena itu, saya menulis karya ilmiah ini yang bertemakan mengenai Hak Asasi
perempuan agar pembaca dapat lebih memahami pentingnya Hak Asasi perempuan dan
lebih bisa menghargai kaum perempuan.
SUMBER :
http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Nasional_Perempuan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar